Rabu, 14 Desember 2011

Konflik Agama di Ambon

 TEMA : Agama dan Masyarakat

Kini seakan terulang kembali peristiwa tragedi ambon 1999, beribu-ribu nyawa melayang. Bau sangit tubuh terbakar, gedung-gedung runtuh. Anak-anak berlarian ketakutan, pengungsi hilir mudik kesana kemari mencari tempat berlindung yang aman. Entah waktu itu apa yang menjadi factor terjadinya peristiwa yang mengerikan itu, mungkin karena waktu itu aku masih terlalu kecil untuk memahami hal yang sungguh ngeri itu, yang aku tahu waktu itu adalah bagaimana aku bisa bersembunyi dengan ibu dan adikku yang masih berumur 2 bulan. 



Sedikit aku ketahui dari hal itu adalah istilah acang dan obet yang di labelkan pada Islam dan Kristen. Sekarang mulailah bisa otakku berfikir tentang kedua agama ini. Telah banyak tokoh-tokoh agama yang selalu  membusakan mulutnya dan berteriak-teriak dan menjelaskan bahwa agama itu membawa kedamaian. Ulama dan pendeta pun mulutnya selalu penuh dengan busa akibat meneriakan perdamaian. Tidak tahu juga fikirku berhenti ketika teriakan-teriakan perdamaian itu selalu muncul, tetapi pertumpahan darah ketika itu pun masih saja mengalir, mayat-mayat pun tergeletak di pinggir-pinggir jalan. Mungkin telah cukup aku mengingat masa lalu yang hitam dan penuh ketakutan itu. Beberapa waktu lalu di temanggung terjadi peristiwa pembakaran gereja. Entah apa pemicunya dari kelompok yang mengatakan beragama islam itu membakar dan merusak tempat beribadah itu. tetapi yang jelas, hal ini dapat memicu konflik agama. Bagaimana tidak, agama sebagai keyakinan yang di pegang teguh di dalam hati, tempat ibadahnya di rusak. Sudah barang tentu rasa marah akan tetap ada.  Manusia mana yang tidak mempunyai rasa marah ketika hal yang sudah mendarah daging atau yang sangat di banggakan oleh dirinya itu di hancurkan. Tentu pembakaran tempat ibadah itu akan memicu konflik agama lagi. Tetapi, sangat kagum dengan sikap Uskup yang mengatakan bahwa, “kita harus sabar, jangan terpancing oleh profokasi-profokasi itu”. sangat mulia ungkapan Uskup itu. ucapan seorang Uskup itu diperhatikan dan di laksanakan oleh umatnya. Bisa di lihat, tidak ada tindakan pembalasan dari pihak Kristen. Kini, kenapa dari kelompok yang merusak itu tidak melakukan apa yang di teriakan oleh para Ulama dan Kyai, yang selalu meneriakan perdamaian? Tetapi entahlah, agamanya yang salah, atau orangnya yang tidak faham akan agama. Permasalahannya ada pada kelompok yang mengatakan beragama islam tersebut. Kenapa umat islam yang memulai kekerasan. Tetapi dalam hati kecil ini masih meyakini bahwa islam memang agama yang membawa rahmat, damai dan lain sebagainya. Tetapi anehnya, jika di bilang mereka tidak mengerti agama-pun, mereka selalu meneriakan simbol-simbol agama. Ataukah permasalahannya adalah agama yang mudah dan sulit di pahami. karena kitabnya memakai huruf arab. Para ulama atau kyai pun dalam mengajarkan islam, selalu di awali dengan bahasa arab. Selanjutnya, selalu arab-arab dan arab. Sehingga mungkin telah terkonstruk dalam pemikiran umat islam bahwa bahasa arab adalah bahasa adalah bahasa islam. Ini telah bukan rahasia lagi, ketika ada pendakwah islam yang berdakwah tidak ada kata-kata yang arab-araban, maka akan tidak di anggap atau di bilang tidak mengerti agama oleh suatu majelis itu. nah mungkin dari itu ajaran islam yang damai itu sulit untuk masuk kedalam jiwa kelompok ini. Yang di tahu adalah, islam dan kafir, kafir di luar islam harus di bunuh dan di hanguskan. Kekerasan yang di lakukan kelompok itu mengungkapkan kebebasan beragama yang dilindungi oleh kunstitusi dapat dihancurkan begitu saja. Kelompok tertentu dengan mudah menyerang kelompok lain yang berbeda pemikiran. Pemikiran ke-Bhenika-an yang dihembuskan oleh pendahulu bangsa ini telah di hianati oleh kelompok ini. Tidak sadar akan perjuangan masa lalu yang sulit dalam memperjuangkan Negara Indonesia. Walau begitu, ada pihak yang tetap mendukung keberagaman kayakinan beragama dan keberadaan Ahmadiyah semakin ditentang keras, sehingga menyulut konflik antara dua kelompok tersebut.
Organisasi sosial dibalik topeng agama yang mengusung kekerasan harus ditolak dengan keras. Apabila ahmadiyah diyakini merusak sendi-sendi tiang agama Islam, kekerasan bukan cara yang pantas disahkan oleh kelompok ini. Kekerasan ini menunjukkan seolah-oleh keberadaan manusia tidak dilihat sebagai penganut Agama. Agama Islam memiliki rasa toleransi terhadap keyakinan kepercayaan yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat. Sekalipun membayangkan dunia tanpa konflik itu mustahil. Islam diturunkan ke dunia bukan untuk pemicu konflik, melainkan Islam diturunkan sebagai cahaya bagi rahmat sekalian alam.
Mungkin patut di pertanyakan pula peran Negara tentang permasalahan ini. Bagaimanapun juga, Negara telah mengatur tentang keber-agama-an, Lantas, kenapa konflik agama ini selalu bermunculan.
Dalam kasus panistaan agama, terang bagi kita ketika menengok sejenak kebelakang. Sebut saja dalam hal ini adalah ahmadiyah. Aliran ahmadiyah masuk di Indonesia sejak 1925 dan muncul permasalahan ahmadiyah ini pada era reformasi. Telah di ketahui dalam era ini bahwa masyarakat di jamin kebebasannya. Lucu memang, ketika pada era reformasi muncul kasus seperti ahmadiyah ini, hemat saya, kasus ini pantas muncul ketika zaman otoriter. Pemerintah pun seakan takut dan segan dalam menyelesaikan masalah ini sehingga tidak terang selesai. Dulu di munculkan SKB tiga menteri, tetapi hal itu hanya untuk meredam beberapa saat saja. Kini kita lihat, muncul lagi kekerasan yang di lakukan kelompok itu.  

sumber: http://www.articelaafik.info/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar